Masyarakat Lokal Prabumulih

Legalitas Outsourcing Pasca Putusan MK

A. Outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Belakangan ini outsourcing menjadi salah satu kosa kata yang populer. Sebenarnya, praktik outsourcing sudah berlangsung sebelum pemerintah mengundangkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Praktik outsourcing sangat mudah kita temukan terutama pada sektor pertambangan minyak dan gas bumi (migas).

Sebelum UU Ketenagakerjaan berlaku sebagai hukum positif, UU bidang perburuhan tidak mengatur sistem outsourcing. Pengaturan tentang outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pertama kali diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No 5 Tahun 1995 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 2 Tahun 1993. Melihat subtansi Bab IX UU Ketenagakerjaan khususnya mengenai PKWT, pembentuk undang-undang mengadopsi isi dari dua Permenaker di atas.

Dalam perkembangannya, lantaran dianggap tak memberikan jaminan kepastian bekerja, tak lama setelah UU Ketenagakerjaan diberlakukan, sebanyak 37 serikat pekerja/serikat buruh mengajukan perlawanan ataslegalisasi sistem outsourcing dan PKWT ini. Caranya dengan mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana teregistrasi dengan permohonan No 12/PUU-I/2003.

Ada beberapa pasal yang diuji, termasuk Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan yang mengatur soal outsourcing. Saat itu, MK menolak permohonan atas ketiga ketentuan tersebut. Salah satu pertimbangan dalam putusan No 12/PUU-I/2003 mengatakan, sistem outsourcing tidak merupakan modern slavery dalam proses produksi.    

Upaya buruh melawan sistem outsourcing dan kerja kontrak seakan tidak pernah berhenti. Buktinya, tuntutan untuk menghapus sistem outsourcing dan buruh kontrak kembali memasuki gedung MK.

Dalam register permohonan No 27/PUU-IX/2011 tercatat Didik Supriadi mewakili Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2MLI) mengajukan judicial review terhadap Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.

Lembaga pengawal konstitusi itu mengabulkan permohonan Didik Supriadi untuk sebagian dan menolak permohonan atas Pasal 59 dan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan. Secara eksplisit MK menyatakan kedua ketentuan itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Serikat pekerja/serikat buruh menyambut putusan MK itu dengan argumen tak senada. Ada yang gembira dan ada yang mencibir. Kelompok yang gembira berasumsi bahwa  MK telah menyatakan outsourcing dan PKWT sebagai praktik illegal. Asumsi lain menyimpulkan, MK telah menghapus sistem outsourcing dan PKWT. Yang mencibir berkata, putusan MK melegalisasi dan mengkonstitusionalkan sistem outsourcing dan PKWT.

Sambutan pekerja/buruh atas putusan MK itu sudah pasti berbeda dengan pemerintah. Itu konsekuensi dari psikologi politik. Bagaimanapun, substansi undang-undang yang dikabulkan oleh MK itu merupakan karya perjuangan pemerintah di gedung DPR. Pertimbangan MK mengatakan Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf (b) UU Ketenagakerjaan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) membuktikan bahwa isi UU Ketenagakerjaan semakin banyak yang bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK seperti itu cukup sebagai argumen menuduh DPR dan pemerintah telah mengabaikan konstitusi saat menyusun materi undang-undang.     

Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 ini juga memberi efek kejut yang lebih dasyat bila dibandingkan putusan MK lainnya di bidang Ketenagakerjaan. Ada yang mengatakan, dasar hukum outsourcing tidak sah pasca putusan MK. Bahkan, PKWT yang sudah ditandatangani sebelum putusan MK oleh sebagian kalangan dinilai telah bertentangan dengan putusan MK.

Untuk menjawab hal itu Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan Surat Edaran (SE) No. B.31/PHIJSK/I/2012 tanggal 20 Januari 2012. Butir akhir dari SE itu menguraikan sikap Kemenakertrans berkaitan dengan efektivitas waktu berlakunya putusan MK. Yaitu, PKWT yang sudah ada sebelum putusan MK tetap berlaku sampai berakhir waktu yang diperjanjikan.

Untuk menyelaraskan pemahaman tentang eksistensi dan peluang praktik outsourcing dan PKWT, kita perlu menelaah secara cermat amar dan pertimbangan putusan MK dimaksud. Di dalam pertimbangan hukum, MK menawarkan dua model pelaksananaan outsourcing.

Model pertama, outsourcing dilakukan dengan menerapkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) secara tertulis. Model ini bukan hal baru sebab Pasal 65 ayat (7) UU Ketenagakerjaan telah mengaturnya secara opsional. Model kedua, lanjut MK, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employmenatau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing

Bagian utama dari amar putusan MK menyatakan “frasa perjanjian kerja waktu tertentu dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf (b) UU No. 13 tahun 2003 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.” Kata sepanjang dan seterusnya dalam amar di atas berlaku sebagai syarat bila pengusaha menggunakan sistem PKWT.

Berikut adalah beberapa catatan terkait dengan amar dan pertimbangan hukum MK di atas:
a. MK menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 kecuali ayat (7) dan Pasal 66 kecuali ayat (2) huruf (b) UU No. 13 tahun 2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, ketentuan selain ayat (7) pada Pasal 65 dan ayat (2) huruf (b) pada Pasal 66 tetap berlaku sebagai hukum positif. 

Dengan demikian, pengusaha tetap boleh menyerahkan atau memborongkan pekerjaannya kepada perusahaan lain sehingga sistem outsourcing tetap bisa dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan pertimbangan MK yang menyatakan “...penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis atau melalui perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha.”

b. MK tidak menyatakan sistem outsourcing sebagai sistem terlarang dalam relasi bisnis dan hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha.  Dalam posisi itu, Pasal 64 UU No 13 Tahun 2003 tetap sah sebagai dasar hukum bagi perusahaan untuk melaksanakan outsourcing dan Pasal 65 kecuali ayat (7) dan Pasal 66 kecuali ayat (2) huruf (b) sebagai teknis hubungan kerja dalam perusahaan outsourcing.

c. Yang tidak mengikat dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf (b) UU No 13 Tahun 2003 hanya mengenai frasa ‘perjanjian kerja waktu tertentu’ sepanjang tidak mengatur syarat jaminan pengalihan perlindungan hak  pada perusahaan pemenang tender berikutnya. MK tidak menyebutkan apa yang dimaksud dengan pengalihan perlindungan hak pekerja/buruh tetapi hal itu dapat dipahami meliputi dua hal: (a) jaminan kelangsungan bekerja saat berakhir perjanjian pemborongan; (b) jaminan penerimaan upah tidak lebih rendah dari perusahaan sebelumnya;

d. Pengusaha dapat menerapkan sistem outsourcing dengan status PKWT sepanjang PKWT memuat klausul yang memberi jaminan perlindungan hak pekerja/buruh bahwa  hubungan kerja pekerja/buruh yang bersangkutan akan dilanjutkan pada perusahaan berikutnya, dalam hal objek kerjanya tetap ada. Bila objek pekerjaan itu tetap ada sedangkan syarat pengalihan perlindungan hak tidak diatur di dalam PKWT, hubungan kerja pekerja/buruh berupa PKWTT. Secara teknis, syarat PKWT bisa diatur pada bagian penutup perjanjian. Pada akhirnya, klausul itu berfungsi sebagai alat ukur untuk menilai bentuk hubungan kerja, apakah berbentuk PKWT atau PKWTT;

e. Amar putusan MK tidak secara eksplisit menyatakan perjanjian kerja pekerja/buruh dalam lingkungan perusahaan outsourcing harus dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Di dalam pertimbangan hukumnya MK menawarkan PKWTT sebagai salah satu model outsourcing. Sesuai uraian di atas, MK tidak mengharuskan perusahaan menerapkan PKWTT. Status PKWTT dalam perusahaan hanya terjadi bila: (a) PKWT tidak mensyaratkan pengalihan perlindungan hak pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada; atau (b) perusahaan sejak awal menerapkan PKWTT.

B. Pengalihan Perlindungan Hubungan Kerja
Berkaitan dengan PKWT dalam outsourcing, amar putusan MK mempertahankan dua bentuk hubungan kerja yang salama ini dikenal dalam UU Ketenagakerjaan, yakni PKWT dan PKWTT. Penegasan lain dari putusan MK adalah memperkenalkan sekaligus membolehkan dua macam PKWT, yaitu PKWT bersyarat dan PKWT tidak bersyarat. Termasuk PKWT bersyarat adalah PKWT yang mengharuskan perusahaan outsourcing mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila objek kerjanya tetap ada meskipun perusahaan pemborong pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh diganti. Adapun PKWT tanpa syarat adalah PKWT yang dilaksanakan tanpa mensyaratkan adanya pengalihan hak-hak bagi pekerja/buruh sebagaimana disebutkan di atas. 

Dalam praktik outsourcing, pekerja/buruh ada yang bekerja belasan hingga puluhan tahun pada satu lokasi kerja walaupun perusahaan outsourcing-nya sudah berganti. Kadangkala pemilik perusahaan-perusahaan itu sama, yang berbeda hanya nama perusahaan.

Putusan MK yang menyatakan PKWT sah bila mengatur syarat pengalihan perlindungan hak pekerja/buruh tentu mengundang pertanyaan. Apa yang akan terjadi bila klausul PKWT yang sedang berjalan mengharuskan perusahaanpemenang tender yang belum dikenal wajib melanjutkan hubungan kerja para pekerja/buruh yang sedang terikat PKWT?

Sesungguhnya hal demikian tidak menimbulkan kerugian pada perusahaan yang lama. Masalah akan mengancam perusahaan pemborong yang baru bila masa kerja pada perusahaan sebelumnya harus diperhitungkan sebagai masa kerja pada perusahaan yang baru.


Masalah lain yang munculadalah apakah isi perjanjian kerja pekerja/buruh suatu perusahaan mengikat pada perusahaan lain? Bagaimana bila bidang pekerjaan yang diborongkan itu berkurang, apakah perusahaan baru selaku pemenang tender boleh mengurangi jumlah pekerja/buruh yang dibutuhkannya?

Kalau menghendaki kepastian atas kondisi seperti itu, dibutuhkan kesepakatan semua pihak. Yaitu pekerja outsourcing, perusahaan outsourcing, perusahaan yang memborongkan pekerjaan, dan perusahaan outsourcing baru yang memenangkan tender. Kesepakatan itu dituangkan dalam perjanjian kerja.

Selama hukum positif tidak mengatur seperti itu, sulit melaksanakan cara ini. Karena itu, perusahaan yang memborongkan pekerjaan lebih efektif melakukan intervensi dengan cara menentukan jumlah dan gaji pekerja/buruh yang dibutuhkan untuk mengerjakan pekerjaan yang diborongkan disertai pengawasan yang prima. Metode ini bisa mencegah tindakan manipulasi upah oleh perusahaan pemborong atau penyedia pekerja/buruh.     

Dari segi hukum dan sumber keuangan, sulit mewajibkan perusahaan  pemborong atau penyedia pekerja/buruh memperhitungkan atau melimpahkan masa kerja pekerja/buruh ke perusahaan pemborong berikutnya. Bila masa kerja pada semua perusahaan pemborong diperhitungkan sebagai masa kerja pada perusahaan berikutnya, misalnya si Polan bekerja di PT. Samudra selama 3 tahun, kemudian PT. Samudra diganti oleh PT. Alaska, selanjutnya, si Polan yang baru bekerja 1 tahun pada PT. Alaska mengalami PHK, tidak logis menghukum PT. Alaska membayar uang pesangon untuk masa kerja 4 tahun kepada si Polan.

Masalahnya, siapa yang akan membayar uang pesangon itu, apakah PT. Alaska atau perusahaan yang memborongkan pekerjaan itu? Putusan MK tidak tegas mendorong ke arah itu. Tetapi, di sisi lain, putusan MK itu bisa diterjemahkan ke sana. Bila masa kerja si Polan pada PT. Samudra diperhitungkan untuk mendapat kompensasi PHK maka tidak tepat membebankan keuangan PT. Alaska untuk membayar masa kerja pada perusahaan lain.   

Beberapa tahun lalu, di sektor migas berlaku kebijakan, saat berakhir PKWT perusahaan pemborong pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh memberi kompensasi pengakhiran kontrak kerja sebesar satu bulan gaji kepada pekerja/buruh. Pembayaran itu mirip dengan uang pesangon. Yayasan Dana Tabungan Pensiun (YDTP) bertindak sebagai pelaksana kebijakan itu. Oleh karena outsourcing dan PKWT masih menjadi sistem kerja yang sah dalam hukum ketenagakerjaan, maka untuk mengurangi dampak buruk dari PKWT pemerintah perlu membuat regulasi dengan mewajibkan perusahaan memberi kompesasi pengakhiran PKWT kepada pekerja/buruh outsourcing.   

C. Norma Baru dan Tindak Lanjut Putusan MK
Dalam praktik, hasil uji materi UU terhadap UUD 1945, MK tidak hanya menyatakan isi UU bertentangan dengan UUD 1945. Beberapa putusan MK menegaskan penafsiran atas ketentuan serta memberi norma baru. Terkait permohonan uji materi di atas, MK memberi norma baru sebagaimana terurai pada  butir 3 (tiga) amar putusan.

Bila membaca secara cermat amar dan pertimbangan putusan MK No. 27/PUU-IX/2011, tampaknya pertimbangan lebih lugas dan tegas daripada amar putusan. Untuk memahami maksud dari amar putusan itu, pembaca dituntut melakukan penafsiran.

Dalam sistem peradilan, bagian putusan yang bisa dieksekusi adalah amar putusan. Hal-hal yang dikemukakan di dalam pertimbangan bila tidak diuraikan secara tegas di dalam amar putusan, maka uraian pertimbangan itu bukan bagian yang dapat dieksekusi. Karena itu, amar putusan pengadilan harus final dan terbebas dari tafsir. Segala sesuatu terkait dengan penafsiran diuraikan di dalam pertimbangan hukum. Berikut ini salah satu pertimbangan putusan MK yang tegas tetapi tidak disebut secara eksplisit di dalam amar.

“Dengan menerapkan pengalihan perlindungan....Masa kerja yang telah dilalui para pekerja outsourcing tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerja outsourcing dapat menikmati hak-hak sebagai pekerja secara layak dan proporsional.”

Dalam kaitan dengan amar putusan MK di atas, Kemenakertrans dalam Surat Edaran No. B.31/PHIJSK/I/2012 menafsirkan amar putusan MK itu sebagai berikut :
a. Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya tidak memuat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh harus didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWTT).

b. Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya dapat didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Meskipun MK memberi norma baru bagi kepentingan perlindungan pekerja/buruh outsourcing, MK tidak menjelaskan kapan putusan No. 27/PUU-IX2011 mulai berlaku. Maka, tidak salah menyatakan putusan itu mengikat sejak diucapkan. Artinya, putusan MK tersebut tidak berlaku surut. Konsekuensinya, perbuatan hukum perihal PKWT dalam outsourcing yang sudah dibuat sebelum putusan MK dibacakan tidak bisa dikualifikasi tidak sah atau batal berdasarkan putusan MK.

Bila putusan MK dinyatakan berlaku surut akan menimbulkan keresahan terutama di kalangan pengusaha sebab PKWT yang sedang berjalan berkorelasi dengan nilai tender kerja. Karena itu, putusan MK tersebut dapat diterapkan untuk perjanjian kerja outsourcing yang dibuat setelah putusan MK dibacakan.

Eksekutif dan legislatif sebagai pembentuk undang-undang seharusnya memiliki beban moral untuk segera merespon putusan MK yang memberikan norma baru atas suatu undang-undang.

Pemberian norma baru oleh MK berkaitan dengan pengujian UU Ketenagakerjaan, bukan kali ini saja dilakukan. Dalam putusan No. 115/PUU-VII/2009, MK memberi norma baru terkait dengan keterwakilan serikat pekerja/serikat buruh dalam perundingan perjanjian kerja bersama (PKB) di dalam perusahaan. Norma dalam putusan itu sama krusialnya dengan norma dalam putusan No. 27/PUU-IX/2011 ini.

Untuk memberi kepastian hukum, kini, saat yang tepat bagi pemerintah dan DPR membahas perubahan UU Ketenagakerjaan. Sejatinya, DPR dan pemerintah bisa memanfaatkan momen ini untuk mengadopsi keseluruhan norma yang terdapat dalam beberapa putusan MK menjadi hukum positif.

Tindaklanjut seperti ini paralel dengan Pasal 10 ayat (1) huruf (d) UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan itu mengamanatkan bahwa salah satu materi muatan undang-undang adalah tindak lanjut dari putusan MK. Artinya, implementasi putusan MK hanya dapat dimuat di dalam undang-undang. Pemerintah tidak boleh mengatur tindaklanjut putusan MK ke dalam peraturan pemerintah (PP), peraturan menteri (Permen) maupun surat edaran (SE).

Oleh karena itu, tindakan Kemenakertrans yang telah mengadopsi isi putusan MK No. 115/PUU-VII/2009 ke dalam Peraturan Menakertrans No. 16/Men/XI/2011 dan penerbitan Surat Edaran No. B.31/PHIJSK/I/2012untukmenindaklanjuti putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011adalah tidak selaras dan bertentangan dengan UU No 12 tahun 2011.  

Selain itu, isi butir ketiga SE yang berbentuk seperti peraturan yang mengatur (regeling) juga menjadi masalah sendiri. Karena pada dasarnya surat edaran tidak termasuk bagian dari hirarki perundang-undangan.

Bagir Manan dan Kuntana Magnar menjelaskan, SE tidak mengikat secara hukum (wetmatigheid) sehingga kedudukannya sering disebut bukan hukum (Bagir Manan & Kuntana Magnar, 1997 : 172). Dalam bukunya ‘Perihal Undang-Undang’ -Jimly  Asshiddiqie menjabarkan, surat edaran sebagai aturan kebijaksanaan (policy rules atau beleidsregels). Surat edaran, Jimly menegaskan, bukan peraturan perundang-undangan (Jimly  Asshiddiqie, 2010 : 273). Dengan demikian, tindaklanjut putusan MK ke dalam SE tidak relevan sebagai kepatuhan eksekutif melaksanakan putusan MK. Mengingat objek yang diputus oleh MK adalah UU, pemerintah dan DPR harus membuat sikap bersama sebab putusan MK berimplikasi pada produk politik kedua lembaga.

Barangkali ini yang menjadi masalah dalam penyusunan perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan tindak lanjut atas putusan MK. Membentuk UU memerlukan proses yang tidak singkat karena harus melalui tahapan Prolegnas. Namun, Presiden dan DPR karena alasan tertentu sebagaimana diuraikan di dalam Pasal 23 ayat (2) UU No. 12 tahun 2012 berhak mengajukan RUU di luar Prolegnas.

Untuk menyempurnakan hukum positif, saat ini cukup alasan pemerintah dan DPR melakukan perubahan atas UU Ketenagakerjaan. Menurut penulis, pendapat hukum yang terdapat dalam beberapa putusan MK terkait UU Ketenagakerjaan perlu segera dijabarkan ke dalam undang-undang sehingga implementasi putusan lebih optimal. Karena itu, perubahan UU ketenagakerjaan merupakan kebutuhan mendesak untuk memperketat aturan main outsourcing sehingga praktik outsourcing berjalan lebih baik.

*) Hakim Adhoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (Tulisan ini merupakan pandangan pribadi Penulis)

Dahlan Iskan: Perusahaan Outsourcing Harus Berubah

TEMPO.CO , Jakarta:
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan mengatakan bahwa perusahaaan outsourcing yang akan bekerja sama dengan perusahaan BUMN harus mengubah sistem perusahaan untuk memenuhi tender. Pertama, perusahaan tersebut harus mempunyai sistem jenjang karier dan sistem kepegawaian.

Perusahaaan outsourcing yang bisa ikut tender di perusahaan BUMN, harus memperlakukan pegawainya itu menjadi karyawan bukan lagi tenaga kerja lepasan. "Peraturannya mulai tahun depan" kata Dahlan. Karena harus diumumkan dulu dan memberi kesempatan kepada perusahaan outsourcing untuk melakukan perubahan.

Kemudian, memperlakukan pegawainya sebagai karyawan, dengan adanya Surat Keputusan (SK) kekaryawanan dan mempunyai sistem penggajian. Selanjutnya, perusahaaan outsourcing yang boleh ikut tender dengan perusahaan BUMN, harus menetapkan gaji bagi karyawannya paling rendah 10 persen di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) setempat. "Tidak boleh hanya sama dengan UMP, apalagi di bawah UMP" kata Dahlan menjelaskan.

Jika perusahaan outsourcing sudah menang tender, tetapi ada pegawai yang mengadu ke kementrian BUMN bahwa pegawai tersebut tidak diangkat menjadi karyawan dan hanya dipakai sebagai tenaga kerja lepasan atau digaji di bawah UMP, Dahlan mengatakan bahwa pihak BUMN akan membatalkan kontrak tender.

Dahlan memaklumi bahwa perusahaan outsourcing merasa bimbang dalam mengangkat karyawan karena adanya ketidakpastian kontrak tender satu tahun akan diperpanjang di tahun depan. "Saat ini, banyak perusahaan outsourcing yang terikat kontrak dengan perusahaan BUMN hanya 1 tahun" kata Dahlan.

Dengan menyadari persoalan seperti itu, Dahlan mengatakan bahwa perusahaan BUMN boleh melakukan tender untuk jangka waktu sampai
5 tahun yang kemudian bisa diperpanjang 5 tahun lagi dan sterusnya per 5 tahun. Dengan demikian maka perusahaan outsourcing akan punya kemampuan untukmengangkat pegawainya menjadi karyawan.

Selain itu, Dahlan mengatakan bahwa perusahaan BUMN juga tidak boleh menggaji karyawannya sama dengan ump atau dibawah ump. "Harus digaji paling rendah minimal 10persen dari UMP" kata Dahlan.

Dahlan mengatakan jika ada perusahaan BUMN yang tidak kuat dengan sistem penggajian tersebut, maka direksi perusahaan BUMN akan
diganti. "Peraturan ini juga akan mulai tahun depan juga untuk persiapan-persiapan" kata Dahlan.

Dahlan mengatakan bahwa perusahaan BUMN yang memberi gaji paling kecil adalah Syang Hyang Sri sebesar Rp 900 ribu. "Saya pernah mendatangi sawah perseroan di Suka Mandi liat sawahnya. Saya melihat hasil padi perseroan tidak beda dengan yang ditanam para
petani. Saya merasa ada yang tidak beres, ternyata gaji karyawannya kecil dan saya suruh menaikkan 2 kali lipat. Per tanggal 1 kemaren sudah dinaikkan" kata Dahlan menceritakan.

Dahlan juga mengatakan bahwa nantinya perusahaan BUMN harus mempunyai sistem yang akan mengeliminasi jika ada karyawan yang tidak produktif tetapi gajinya besar. "Ini penyebab timbulnya rasa ketidakadilan" kata Dahlan.

Seperti yang diketahui bahwa Outsourcing sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dahlan mengatakan bahwa sambil menunggu keputusan DPR mengenai outsorcing, Kementrian BUMN melakukan perbaikan-perbaikan di bidang outsourcing. "Bahwa nanti perbaikan-perbaikan ini ternyata harus berubah lagi setelah ada putusan DPR adalah soal lain" kata Dahlan.

MASA DEPAN TENAGA KERJA KONTRAK DI PERTAMINA SANGAT MEMPERIHATINKAN

Silahkan bandingkanlah isi tulisan di bawah ini dengan keadaan Tenaga Kerja Kontrak di PT. Pertamina Area Prabumulih.


Seperti diketahui bahwa pembangunan ketenagakerjaan adalah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual.
Oleh sebab itu Pemerintah Republik Indonesia merasa perlu untuk menerbitkan Undang-undang No.13 Tahun 2003 dan ini membuktikan bahwa Pemerintah sangat peduli dengan nasib dan kesejahteraan para tenaga kerja di negara yang katanya sangat taat hukum, patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, sangat menjunjung tinggi harkat serta martabat manusia Indonesia berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila.
Tegasnya, pembangunan ketenagakerjaan telah diatur sedemikian rupa agar terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pembangunan dunia usaha.
Namun sangat disayangkan bahwa sejak tahun 2003 sampai saat ini, masih saja ada oknum pejabat terkait termasuk perusahaan jasa tenaga kerja (labour contractor) di lingkungan Pertamina terkesan tidak mengakui keberadaan Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (masalah pesangon), dan Kepmen Nakertrans No.220 tahun 2004 tentang Pengelolaan Tenaga Kerja kepada Pihak Lain. Akibatnya, hak-hak tenaga kerja kontrak dan masa depan lebih dari seribu orang jadi sangat memprihatinkan.
Kesuraman masa depan tenaga kerja kontrak yang dikenal sebagai Pekarya di lingkungan Pertamina EP, baik yang bekerja di PT Pertamina EP Field Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara maupun di PT Pertamina EP Field Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Field lainnya juga termasuk di JOB P-Costa, DOK PB/PS, Pertamina Gas dan jajaran lainnya sungguh sangat memprihatinkan. Keberadaan masa depan mereka terkesan diabaikan oleh para pihak terkait. Padahal mereka juga ikut “banting tulang” agar Pertamina tetap eksis di Sumatera Utara.
Diakui ataupun tidak diakui, peningkatan produksi minyak mentah di Area Pangkalan Susu sejak pertengahan tahun 2003 sampai akhir tahun 2005 cukup signifikan khususnya sejak Mei 2005 produksinya rata – rata berada di atas 100% dari target/sasaran yang ditentukan Direksi, adalah merupakan kerjasama secara terpadu antara pegawai Pertamina dengan tenaga kerja kontrak.
Sebagai gambaran dapat dijelaskan, bahwa karena keterbatasan tenaga, maka sebagian besar pekerjaan di lingkungan Pertamina EP yang seharusnya dikerjakan oleh pegawai Pertamina “terpaksa” dilaksanakan oleh pekarya. Pertanyaannya, apakah mereka mampu ? Jelas mampu ! Sebab para pekarya tersebut sudah memiliki skill untuk jenis pekerjaan yang dikerjakannya bertahun-tahun lamanya, dan hasil karya para pekarya itu juga tidak pernah menimbulkan permasalahan ketika diaudit oleh pihak yang berkompeten. Ini fakta ! Susu punya lembu, Benggali punya nama. Begitulah istilah orang Medan.
Oleh sebab itu sudah sepantasnya para tenaga kerja kontrak yang disalurkan oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (Labour supply) untuk melaksanakan pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses produksi (core business) diangkat menjadi pegawai Pertamina EP oleh sipemberi pekerjaan.
Hal ini disampaikan atas dasar rujukan Pasal 66 ayat (1) berikut penjelasannya yang selengkapnya berbunyi sbb.: ” Pekerja/buruh ( Pekarya, pen.) dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan dengan proses produksi.”
Di dalam penjelasan Pasal 66 ayat (1) disebutkan : Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT/PWT, pen) dan/atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT/PWTT, pen).
Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.
Kegiatan tersebut antara lain : usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.
Berdasarkan UU No.13 tahun 2003 disebutkan, apa bila Pasal 66 ayat (1), ayat (2) dan (3) tidak terpenuhi, maka, demi hukum, status hubungan kerja antara pekerja/buruh (Pekarya, pen.) dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekarya dan Pertamina. Pasal 66 ayat (4) plus Pasal 65 ayat (2) dan ayat (8) UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan.
Dengan adanya ketentuan tersebut, maka ikatan kerja Tenaga Kerja Kontrak (Pekarya.pen.) di Fungsi Produksi sudah harus diganti statusnya sesuai Undang-undang yang berlaku, karena mereka bekerja berhubungan langsung dengan produksi migas (core business), misalnya di SP/SK, Test Unit dan Block Station. Apakah hal ini berlaku di lingkungan PT Pertamina EP ?
Pekarya tidak pernah menikmati uang Pesangon

Menurut hasil pengamatan dan pengalaman yang penulis alami sendiri dapat diketahui bahwa para tenaga kerja kontrak, atau di lingkungan Pertamina EP disebut Pekarya, bila ter-PHK tidak pernah menerima uang pesangon dari kontraktor ketika terjadi PHK. Padahal peraturan perundang-undangan sudah mengaturnya. Ini memang aneh dan tidak berprikemanusiaan bila dipandang dari sisi Hak Azasi Manusia (HAM) serta bila ditinjau dari sisi Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, “ Pesangon Gate ” di kalangan kontraktor penyedia jasa tenaga kerja di lingkungan Pertamina jelas merupakan suatu pelanggaran.
Bagi mereka yang melawan hukum sudah ada sanksi yang diatur oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui UU No.13 Tahun 2003 bahwa mereka dapat dikenakan sanksi Pasal 184 ayat (1), yaitu “ Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Apa isi dari Pasal 167 ayat (5) dimaksud ? Isinya menyebutkan : “ Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena usia pensiun pada program pensiun, maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).” Akan tetapi sayangnya hal ini tidak pernah digubris oleh pihak kontraktor penyedia jasa tenaga kerja.
Dengan alasan klasik, mereka (kontraktor) menyebutkan bahwa masalah pesangon tidak diatur dalam kontrak atau RKS. Sekali lagi, ini memang benar-benar aneh bin ajaib. Siapakah sebenarnya yang membuat kontrak jasa tenaga kerja ? Pihak Rekanan atau Pertamina ?
Namun apapun alasannya, yang jelas korban PHK usia pensiun tanpa menerima pesangon terus berjatuhan. Hal ini hendaknya perlu menjadi perhatian buat Tim Manajemen Pertamina, khususnya bagi Fungsi terkait, karena masalah pesangon sudah diatur dengan baik dalam Undang-undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Menyikapi hal tersebut di atas, jadi timbul tanda tanya besar di benak penulis, kenapa pihak Manajemen khususnya Fungsi SDM terkesan tidak konsekuen dalam menerapkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ? Di satu sisi, UU No.13/2003 dijadikan acuan, tapi di sisi lainnya terkesan diabaikan. Contohnya mengenai pesangon untuk pekarya seperti yang diatur dalam Pasal 156 ayat (1), dan ayat (2) butir a. dan b. tidak pernah mereka nikmati ketika terjadi PHK alami.
Perlu penulis ingatkan kembali bahwa berdasarkan Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang tercantum dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279 telah ditetapkan, apa bila seorang tenaga kerja di-PHK, maka yang bersangkutan berhak menerima Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156 dan Pasal 167 ayat (5) dari UU No.13/2003, dan ini berlaku bagi seluruh tenaga kerja di Indonesia, kecuali tenaga kerja yang diikutsertakan dalam program pensiun.
Pesangon Pekarya Tanggungjawab Siapa ?
Pertanyaan ini yang harus dijawab oleh pihak Pertamina. Sebab ketika ditanyakan kepada salah seorang rekanan/pengusaha jasa tenaga kerja, diperoleh jawaban : Bagaimana kami harus membayar pesangon sesuai Undang-undang yang berlaku karena tidak tercantum di dalam kontrak bahwa pesangon itu tanggungjawab kami ?
Dari penjelasan di atas sudah tersirat bahwa sebagian besar kontraktor Labour Supply (penyedia tenaga kerja) tidak memahami UU No.13 Tahun 2003 khususnya Pasal 66 ayat (2) butir c. yang secara tegas menyebutkan “ Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan butir d. “ Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.” Apakah hal ini sudah dilaksanakan sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku ? Tegasnya, BELUM !
Permasalahan akan jadi lebih rumit lagi ketika PHK harus dilakukan kepada tenaga kerja kontrak yang telah berusia 55 tahun (sekarang diberlakukan batas usia 56 pensiun), tidak ada satupun rekanan jasa tenaga kerja yang bersedia untuk bertanggungjawab atas pesangon pekarya yang sudah mengabdikan dirinya di PT Pertamina EP lebih dari 5 (lima) tahun untuk pekerjaan yang sama secara terus menerus. Sedang perusahaan jasa tenaga kerja terus berganti setiap satu tahun.
Tegasnya, ketika terjadinya gonta-ganti perusahaan jasa tenaga kerja, jangankan pesangon tabel besar, tabel kecil saja tidak pernah dinikmati oleh para tenaga kerja kontrak (Pekarya) yang disalurkan oleh perusahaan jasa tenaga kerja untuk dipekerjakan/diperbantukan di lingkungan PT Pertamina EP.
Menyangkut dengan masalah pesangon, para Pekarya boleh iri dengan tenaga kerja yang dipekerjakan di TKPP (security), YKPP dan PWP, karena ketika terjadi PHK, mereka dapat pesangon yang lumayan jumlahnya.
Ada dugaan dari sementara kalangan bahwa pihak pembuat/perumus kontrak jasa tenaga kerja di PT Pertamina EP, sengaja membuat masa kontrak hanya berjangka satu tahun adalah untuk menghindari pembayaran pesangon ketika masa kontrak berakhir. Kalau memang benar begitu adanya, itu pemikiran ngaur ! Jangankan satu tahun, satu kali terima gaji lantas ter-PHK bukan atas kesalahan sipekerja, sipemakai jasa tenaga kerja tersebut wajib membayar pesangon sesuai Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) butir a. dan b. dari UU No.13 Tahun 2003.
Contoh kasus, pembantu rumah tangga (PRT) yang bekerja di non perusahaan (rumah pribadi orang awam) yang tidak terikat dengan UU No.13 Tahun 2003, ketika PRT tersebut berhenti bekerja pasti menerima pesangon dari majikannya. Sedangkan yang terikat dengan UU No.13 Tahun 2003 tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagaimana ini ? Mohon perhatian serius dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Menimbang beberapa hal di atas, maka isi kandungan Pasal 66 ayat (1) dan ayat (4) serta Pasal 156 dan Pasal 167 ayat (5) dari Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 sudah harus diagendakan sejak saat ini sehingga realisasinya dapat terwujud di lingkungan Pertamina.
Selain itu, hendaknya pihak PT Pertamina EP maupun perusahaan penyedia jasa tenaga kerja harus mematuhi secara utuh isi yang terkandung di dalam Kepmen Nakertrans No.220 tahun 2004 tentang Pengelolaan Tenaga Kerja kepada Pihak Lain Pasal 5 yaitu “ Setiap perjanjian pemborongan pekerjaan wajib membuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak – hak pekerja / buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.” Dan Pasal 6 ayat (2) butir a. “Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan.” serta butir c. “Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan alur kegiatan kerja perusahaan pemberi pekerjaan.”

Kesimpangsiuran pemahaman mengenai UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan lainnya sudah jelas terbaca dari beberapa ulasan di atas. Ketika tenaga kerja yang disalurkan oleh perusahaan jasa tenaga kerja masuk usia pensiun, lantas diPHK. Katanya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Itu yang terpateri kuat dalam benak mereka. Pesangon ? No way !!! Karena tidak diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 (?).
Hal tersebut dapat penulis buktikan, karena penulis adalah mantan pekarya yang dipekerjakan di Fungsi Layanan Operasi ( sebagai staf Humas bidang Media/Pers ) PT Pertamina EP Field Pangkalan Susu yang ketika berhenti kerja pada akhir Desember 2009 tidak memperoleh uang pesangon dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (2) butir b. Jangankan pesangon, setelah setahun berhenti kerja karena batas usia pensiun, penulis belum memperoleh surat pemberhentian dari PT Daya Bumita (perusahaan tempat penulis bernaung). Ketika penulis ribut, akhirnya pada tanggal 23 November 2010 penulis menerima surat dimaksud dengan tanggal mundur (1 Januari 2010). Pada hal surat tersebut sangat penulis perlukan untuk mengurus klaim JHT Jamsostek.
Kejadian itu terkesan bahwa penulis telah dipersulit oleh pimpinan PT Daya Bumita untuk mengklaim JTH Jamsostek. Ini terbukti bahwa sudah 3 (tiga) kali penulis mondar-mandir dari Pangkalan Susu ke PT Jamsostek Cabang Binjai tanpa hasil karena persyaratan pendukungnya belum lengkap kata petugas Jamsostek di Binjai.
Menurut petugas Jamsostek, masih ada satu surat lagi yang diperlukan yaitu, Daftar Tenaga Kerja Keluar (Formulir Jamsostek 1b) yang menurut Posman (petugas Jamsostek cabang Binjai) setiap perusahaan penyedia jasa tenaga kerja telah diberikan formulir dimaksud. Tetapi kenapa pihak PT Daya Bumita tidak membuat laporan kepada pihak Jamsostek dengan mempergunakan formulir 1b tersebut ?
Bila pihak Kontraktor Jasa Tenaga Kerja maupun pihak Jamsostek mau bertindak jujur, ketika seorang pekerja/buruh pertama kali mengurus pengklaiman untuk mencairkan JHT, seharusnya pihak Jamsostek memberitahukan kepada peserta JHT Jamsostek mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja dimaksud.
Itu sudah dilakukan oleh pihak Jamsostek ! Benar. Tetapi kurang jelas dan tidak lengkap. Kenapa penulis katakan demikian ? Berdasarkan pengalaman yang penulis alami sendiri, memang benar pihak Jamsostek telah memberikan daftar persyaratan pengambilan JHT yang harus dipenuhi yaitu :
1. Kartu Peserta Jamsostek (KPJ) Asli.
2. Foto copy KTP/SIM yang masih berlaku.
3. Foto copy Kartu Keluarga (KK).
4. Foto copy Surat Keterangan Berhenti dari Perusahaan (SK PHK).
Catatan : * Semua persyaratan harus dibawa yang ASLI nya.
* Alamat KTP/SIM dan Kartu Keluarga harus sama.
Semua persyaratan sudah penulis penuhi, tetapi ketika akan dilakukan pengklaiman JHT tersebut, penulis gagal untuk mencairkannya.
Menurut Posman (petugas Jamsostek), masih ada satu surat lagi yang diperlukan yaitu, Daftar Tenaga Kerja Keluar (Formulir Jamsostek 1b) dari pihak perusahaan jasa tenaga kerja yang ditujukan kepada pihak Jamsostek. Kejadian ini telah membuat penulis kesal dan kecewa berat. Kalau memang ini diperlukan, kenapa tidak dijelaskan dalam daftar persyaratan seperti tersebut di atas.
Padahal setiap perusahaan penyedia jasa tenaga kerja telah diberikan formulir dimaksud oleh pihak Jamsostek. Tetapi kenapa pihak PT Daya Bumita tidak membuat laporan kepada pihak Jamsostek dengan mempergunakan formulir 1b tersebut ? Sampai hari ini (02 Maret 2011) penulis belum dapat mengklaim JHT ke PT Jamsostek (Persero) Cabang Binjai.
Pertanyaan lainnya, kenapa pihak PT Pertamina EP bisa memberi pekerjaan jasa tenaga kerja kepada perusahaan yang tidak mengerti mengenai peraturan Jamsostek dan UU No.13 Tahun 2003 serta Kepmen Nakertrans No.220 Tahun 2004 ? Kalau dibilang mengerti, kenapa mereka mau menerima pekerjaan yang tidak ada untungnya ? Ada apa ini ?
Apakah para pihak terkait memang sengaja ingin membodoh-bodohi atau menipu tenaga kerjanya yang buta dengan peraturan Jamsostek dan UU ketenagakerjaan sehingga para tenaga kerja kontrak (pekarya) di lingkungan Pertamina EP telah dirugikan jutaan rupiah karena para pihak terkait tidak mematuhi UU No.13/2003 Pasal 156 ayat (2) dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Permasalahannya
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perusahaan kontraktor penyedia jasa tenaga kerja BELUM SIAP menjadi perusahaan penyedia jasa tenaga kerja semurninya. Sedangkan pihak Pertamina juga terkesan menyepelekan atau setengahhati dalam menerapkan peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan. Kenapa penulis katakan demikian ? Dengan mudah dan gampangnya rekanan Pertamina dimaksudkan menerima pekerjaan penyediaan jasa tenaga kerja yang ditawarkan oleh pihak Pertamina yang “telah menjebak” pengusaha kontraktor terkait.
Yang terbayang di benak kontraktor hanya omset sekian miliar, keuntungan sekitar 8-10 persen. Wah lumayan. Padahal mereka tidak menyadari bahwa “bom waktu” setiap saat bisa meledak bila tiba saatnya para tenaga kerjanya menggugat masalah pesangon yang tidak dianggarkan oleh Pertamina di dalam kontrak jasa tenaga kerja. Siapa yang akal-mengakali atau merekayasa kontrak tersebut lengkap dengan RKSnya ?
Kembali muncul pertanyaan, bagaimana mereka (perusahaan penyedia jasa tenaga kerja) harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang ketenagakerjaan, khususnya yang menyangkut dengan masalah Pesangon yang tidak diatur dalam kontrak oleh pihak pemberi pekerjaan (Pertamina) ?
Menurut pengakuan salah seorang rekanan penyedia jasa tenaga kerja kepada penulis beberapa hari lalu, masalah pesangon untuk pekarya tidak dianggarkan oleh Pertamina termasuk tidak diatur dalam RKS, dan mereka juga hanya diberi keuntungan yang relatif kecil. Jadi bagaimana mereka harus memberi pesangon kepada setiap pekerjanya yang diperbantukan di PT Pertamina EP Field Pangkalan Susu. Sementara jumlah pekerjanya mencapai angka di atas 100 orang. Katakanlah 100 orang setiap berakhir masa kontrak harus diberikan pesangon sesuai UU No.13/2003, misalnya perorang menerima pesangon sebesar Rp 3 juta (Rp 1,5 jt x 2) x 100 = Rp 300 juta. Uangnya dari mana ? Keuntungan !? “Tanya sendiri kepada Pertamina, berapa keuntungan yang mereka berikan kepada kami,” kata salah seorang rekanan penyedia jasa tenaga kerja kontrak di lingkungan PT Pertamina EP Field Pangkalan Susu kepada penulis.
Misalnya, untuk kontrak sebanyak 125 tenaga kerja nilainya sekitar Rp7 milyar, dan Pertamina memberi keuntungan sebesar 8%. Artinya, dari kontrak tersebut pengusaha memperoleh keuntungan sebesar Rp560 juta. Sedangkan untuk membayar pesangon kepada tenaga kerjanya sekitar Rp375 juta (rata-rata upah pokok pekerjanya Rp1,5 x 2 bln = Rp3 juta x 125 org). Jadi sisa keuntungan masih ada sebesar Rp185 juta. Ini memang cukup aneh bila pekerjanya tidak dapat pesangon bila masa kontrak berakhir !
Bila kita mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka alasan tersebut tidak dapat diterima. Sebab kalau mereka memang benar-benar sudah siap menjadi perusahaan penyedia jasa tenaga kerja kontrak, semua resiko menjadi tanggungjawab perusahaan bersangkutan seperti yang diatur dalam Kepmen Nakertrans No.220/2004 Pasal 5 “Setiap perjanjian pemborongan pekerjaan wajib membuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.” Dan UU No.13 Tahun 2003 Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) butir c. Yang isinya antara lain menyebutkan; Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima, yaitu untuk masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun menerima pesangon sebesar 2 (dua) bulan upah. Ini tetap harus diberlakukan ! Jangan hanya pandai mengatakan paham dan sangat mengerti mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang ketenagakerjaan, tetapi pada kenyataannya tidak pernah dilaksanakan sesuai peruntukkannya. Ini namanya Munafik !
Di dalam negera yang menjunjung tinggi Hukum, HAM dan Demokrasi, kenapa masih ada pihak-pihak tertentu yang tidak mematuhi hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia ?
Kalau Pertamina dan Rekanan penyedia tenaga kerja dapat mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana mestinya mengenai ketenagakerjaan, pasti tidak akan timbul semacam gugatan dari para tenaga kerja kontrak di lingkungan PT Pertamina EP, seperti yang pernah terjadi di PT Pertamina EP Field Rantau.
Pada kesempatan ini perlu penulis mengingatkan kembali bahwa pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya untuk kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja, tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Itu pasti !
Jadi apapun ceritanya, para tenaga kerja kontrak di lingkungan Pertamina yang disalurkan oleh perusahaan jasa tenaga kerja, wajib menerima pesangon sesuai yang ditetapkan dalam Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam UU No.13 Tahun 2003 tercatat 2 (dua) pasal yang menetapkan tentang pesangon, yaitu Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 167 ayat (5). Jadi, tidak ada kata kompromi untuk pesangon. Perusahaan penyedia jasa tenaga kerja wajib membayar pesangon ketika tenaga kerja dimaksud berhenti dari perusahaan penyedia tenaga kerja.
Tegasnya, setiap tenaga kerja kontrak (pekarya) yang telah di PHK oleh perusahaan jasa tenaga kerja wajib menerima Pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) huruf b. Tetapi tidak wajib menerima uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), karena sistem kontrak yang diberlakukan oleh pihak Pertamina EP hanya berjangka 1 (satu) tahun.
Nah, bagaimana kalau perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak memenuhi ketentuan dimaksud ? Ada sanksi yang dikenakan kepada perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 Pasal 167 ayat (5). Perusahaan tersebut dikenakan sanksi pidana seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1), yaitu “ Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 500 juta.” Sebab tindakan perusahaan tersebut adalah tindak pidana kejahatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (2), “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.”

Lantas timbul pertanyaan lagi, apakah setelah perusahaan dikenakan sanksi Pasal 184 ayat (1) lantas bebas dari kewajibannya membayar pesangon sebagai diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ? TIDAK ! Perusahaan tersebut tetap wajib membayar pesangon pekerjanya seperti yang diatur dalam Pasal 189 “ Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda, tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh.”

Padahal di dalam Pasal 35 khususnya ayat (3) menyebutkan “pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.”

Kenyataan yang terjadi di lapangan tidak demikian. Para pihak (pemberi pekerjaan dan penyedia tenaga kerja) tidak mematuhi ketentuan tersebut di atas. Buktinya yang menyangkut dengan masalah Pesangon.
Oleh sebab itu hendaknya para pengusaha, dan atau perusahaan penyedia jasa tenaga kerja jangan menyepelekan atau tidak mematuhi UU No.13 Tahun 2003. Memang harus diakui bahwa selama ini kasus tersebut tidak pernah diungkit atau dipermasalah atas pertimbangan berbagai hal. Akan tetapi kini sudah berbeda dan berubah seperti Pertamina yang dulu hanya berkelas “nasional” kini bercita-cita ingin menjadi “world class company.”
Yang jadi permasalahan saat ini yaitu, apakah pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak terpantau oleh pihak para pihak terkait (Pertamina dan Disnakertrans) ?
Seharusnya, pihak Pertamina selaku pemberi pekerjaan, dan Dinas Ketenagakerjaan & Transmigrasi yang paling bertanggungjawab harus memantau secara berkala mengenai sistem pelaksanaan tenaga kerja kontrak di lingkungan Pertamina sudah benar atau tidak.
Semoga tulisan ini dapat menggugah hati nurani para pihak terkait untuk mematuhi UU No.13 Tahun 2003, khusus bagi mereka yang telah mengikuti training ESQ dari ESQ Leadership Center Jakarta beberapa tahun lalu.

Penulis adalah pemerhati masalah ketenagakerjaan.