Masyarakat Lokal Prabumulih

Putusan MK Dianggap Makin Melegalkan Outsourcing

Pengusaha menginginkan kepastian berusaha. Putusan MK dinilai melindungi hak normatif pekerja.
Kalangan pekerja dan pengusaha masih berbeda pandang melihat putusan MK terkait pengujian UU Ketenagakerjaan pada 17 Januari lalu. Guna menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencoba menindaklanjuti putusan MK No 27/PUU-IX/2011 itu melalui surat edaran tentang outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
MK menegaskan outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Tetapi pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi konstitusi. Agar para pekerja tidak dieksploitasi, Mahkamah menawarkan dua model outsourcing.
Meskipun dua model usulan Mahkamah diarahkan untuk melindungi pekerja, kalangan buruh merasa belum cukup. Tenaga outsourcing dalam pekerjaan yang sifatnya bukan borongan atau tidak selesai dalam sekali waktu tetap diperbolehkan. Inilah yang merisaukan kalangan pekerja dan menilai putusan MK makin melegalkan praktik outsourcing. 
“Kami menyayangkan MK tidak mengabulkan penghapusan outsourcing, malah makin melegalkan karena salah satu pertimbangan MK menyatakan outsourcing itu bukan perbudakan modern. Kita sangat menyesalkan pendapat dan pandangan itu,” tegas Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Saepul Tavip kepada hukumonline, Selasa (24/1).
Ada tiga hal penting yang dikritik. Pertama, putusan MK mengukuhkan keberadaan outsourcing dalam sistim ketenagakerjaan di Indonesia. Pekerja masih bekerja di perusahaan penyedia (agent) tenaga kerja bukan di perusahaan pengguna tenaga kerja (user). 
Kalangan serikat pekerja lebih menginginkan outsourcing yang bergerak di bidang penyediaan tenaga kerja (bukan borongan) dihapuskan. Sehingga pekerja bekerja di perusahaan pengguna tenaga kerja secara langsung tanpa outsourcing.
Kedua, putusan MK memperkecil jarak benefit yang diperoleh pekerja outsourcing dengan pekerja tetap dengan jenis pekerjaan sama. Meminimalisir diskriminasi penting, sehingga prinsip equal job equal pay dapat diterapan. Dalam konteks ini, Saeful menyambut baik putusan Mahkamah. Meski, tetap saja pekerja outsourcing sulit beralih posisi menjadi pekerja di perusahaan pengguna tenaga kerja.
Ketiga, posisi tawar pekerja outsourcing  sangat lemah terutama membentuk serikat buruh. Ketika pekerja ingin menuntut kenyamanan di tempat kerja, pekerja bingung akan menuntut kemana: perusahaan penyedia atau pengguna tenaga kerja.
Saeful tidak yakin implementasi putusan berjalan baik. Sistim pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan belum maksimal. Kalangan pekerja menilai Pemerintah belum konsisten ‘menjewer’ perusahaan nakal yang tidak mematuhi peraturan ketenagakerjaan. Fenomena ini bukan hanya menimpa pekerja tetap, tetapi juga pekerja outsourcing.
Terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jakarta Soeprayitno menyebutkan putusan Mahkamah itu ditujukan untuk melindungi hak normatif pekerja. Ketika perusahaan pemberi kerja mengalihkan sebagian pekerjanya ke perusahaan outsourcing bukan berarti pemangkasan biaya. Putusan Mahkamah baginya tidak akan menjadi masalah untuk pengusaha jika perusahaan yang bersangkutan memiliki skala upah dan evaluasi pekerjaan.
Ditambahkan Soepriyatno, yang diinginkan pengusaha adalah kepastian usaha. Putusan Mahkamah dapat berdampak pada kepastian usaha karena setiap bidang usaha memiliki struktur biaya yang berbeda-beda. “Kepastian usahanya jadi ribet,” akunya kepada hukumonline via telepon, Selasa (24/1).
Putusan MK, kata dia, tidak serta merta dapat langsung diterapkan pengusaha sebab putusan Mahkamah tidak berlaku surut. Maka jika ada perusahaan yang sedang melakukan dan melaksanakan perjanjian terkait penggunaan outsourcing dapat berjalan sampai berakhirnya perjanjian. 
Sebelum diimplementasikan, pemerintah harus melakukan sosialisasi dengan tripartit nasional yang terdiri dari unsur serikat, organisasi pengusaha dan pemerintah. Hal ini dilakukan agar setiap pihak yang terkait tidak salah dalam menafsirkan putusan itu.
Kepala Biro Hukum Kemenakertrans Sunarno menyebutkan surat edaran yang diterbitkan Kemenakertrans ditujukan agar masyarakat lebih mudah memahami inti putusan dari Mahkamah. Hal yang paling utama dalam putusan itu menurutnya adalah perlindungan hak normatif bagi pekerja. Serta perjanjian kerja waktu tertentu itu tidak melanggar UUD 1945.
Kepastian itu menurutnya terjadi ketika pekerja outsourcing diangkat menjadi pekerja tetap atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Pekerja akan mendapatkan hak normatifnya berupa pesangon jika di PHK. Selain itu yang kedua jika didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu maka ketika perusahaan penyedia tenaga kerja berganti, pekerja tetap mendapat hak normatifnya. Salah satunya berupa masa kerja yang tetap dihitung.
Ia mengusulkan agar pasal-pasal UU Ketenagakerjaan yang sudah diuji Mahkamah dimuat dalam peraturan setingkat Undang-Undang agar masyarakat tahu. Saat ini Kemenakertrans masih menyusun peraturan menteri terkait putusan Mahkamah itu sebagai dasar hukum.
“Peraturan menteri itu sebagai pelaksanaan dari UU (Ketenagakerjaan,-red). Pasal-pasal tertentu kan telah diuji oMK, dinyatakan tidak berkekuatan hukum tetap. Maka bisa meng-gradasi Permen (Peraturan Menteri, --red) sebagai peraturan pelaksanaan. Oleh karena itu yang tepat adalah hasil uji materi MK itu dirumuskan dalam UU yang baru,” kata dia.(Ady)

Sumber: www.hukumonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Untuk Bersolusi